Kamis, 22 November 2012

Pertambangan

Dampak Penambangan 

Saya cuma ingin berbagi pengalaman kepada saudara, teman dan agan agan untuk mengenal secara singkat dan lebih dekat tentang Pulau Bangka dari sisi lingkungan dan kaca mata orang miskin khususnya di pulau Bangka

DAMPAK NEGATIF PENAMBANGAN TIMAH

salah satu kolong di pulau Bangka
Pulau Bangka dan Belitung, ketika mendengar nama kedua pulau ini sebagian besar orang Indonesia akan mengingat bahwa kedua pulau ini adalah daerah penghasil timah putih terbesar di Indonesia dan kedua di dunia hingga saat ini, dengan nilai harga jual yang tinggi membuat masyarakat Bangka juga orang orang dari luar pulau Bangka begitu berambisi untuk mengeruk keuntungan dari hasil penambangan timah. pelaku usaha ini bisa bermacam ragam suku, etnis dan agama mulai dari rakyat biasa sebagai usaha perorangan atau berkelompok hingga perusahaan besar swasta  termasuk perusahaan BUMN (PT.Timah berdiri sudah dari jaman Belanda cuuy..).
Pesatnya eksploitasi tambang timah ini sudah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda hingga pada tahun 2002 ketika pemerintah daerah memberikan jalan lebih mudah kepada warga setempat dan perusahaan swasta skala kecil  agar dapat ikut berpartisipasi dalam mengeksploitasi lahan pertambangan timah untuk memperbaiki perekonomian masyarakat bangka secara umum. Bagi masyarakat luas di Bangka mungkin ini adalah kabar gembira untuk mereka karena usaha ini sangat menggiurkan karena dengan waktu singkat dapat memperoleh keuntungan yang lumayan karna harga jual yang menjanjikan, dan hal itu masih berlangsung hingga kini
Seiring berjalannya waktu tanpa disadari oleh masyarakat bangka, pertambangan timah ini memiliki banyak dampak negatif terhadap masyarakat terutama lingkungan di pulau bangka entah itu penambangan timah darat atau penambangan timah laut hingga saat ini dampak negatif yang di berikan pada usaha bidang pertambangan ini sudah sangat jelas terasa seperti; adanya kolong, rusaknya ekosistem darat dan laut juga mempengaruhi psikologis masyarakat  Bangka walaupun yang satu ini belum begitu terasa
A.     Terbentuknya Kolong di darat,  bukan terbentuk dari alam seperti halnya danau danau di daerah lain namun itulah hasil akhir dari penambangan timah yang tidak terkoordinasi dan bersifat ilegal biasanya membuat pelaku usaha meninggalkan lahan yang mereka kerjakan karena sudah tidak produkti dalam bentuk kolong seperti seseorang yang sedang membuat kolam tapi dengan ukuran 10 sampai 1000 kali lebih besar dari kolam biasa, apa dampak yang terjadi dari pembentukan kolong ini;
·        kolong akan menampung air dari hujan atau dari daerah yang lebih tinggi namun tidak dapat mengalirkannya kembali kedataran rendah secara baik sehingga pada saat curah hujan meningkat air yang tidak dapat tertampung akan meluap ke pemukiman warga setempat dan infrastruktur lainnya contohnya seperti jalan akan lebih mudah rusak,
·        akibat genangan air di kolong dan sedikitnya habitat mahluk hidup di tempat tersebut membuat perkembangan nyamuk demam berdarah meningkat lebih banyak, ini telah dibuktikan dengan banyaknya jumlah penderita demam berdarah yang jumlahnya terus meningkat,
·        sumur gali milik warga yang kurang begitu dalam  akan sangat terganggu dalam hal volume air dan kualitas jika di sekitar sumur tersebut ada aktivitas penambangan timah, karna penambangan timah umumnya menggali tanah dengan kedalaman antara 8-20 meter,
·        kolong kolong dibangka memiliki sisa endapan logam dan lumpur yang dapat menyebabkan kematian bagi masyarakat setempat, karna , anak anak, remaja dan dewasa sering menggunakkanya sebagai sarana tempat bermain dan berenang. saat ini sudah banyak terjadi warga tenggelam dan meninggal di kolong,
·        memang keberadaan kolong ini sering kali dimanfaatkan warga sekitar untuk MCK sebagi pengganti sungai yang terkontaminasi, tanpa di sadari unsur mineral logam dan asam yang belum mengendap dapat menjadi racun dan memiliki tingkat radiasi yang tinggi hal ini juga bisa menjadi pemicu tingginya penderita kanker.
B.     Rusaknya Ekosistem di Darat, lokasi penambangan  dimulai dari bibir pantai hingga hutan produksi dan tidak sedikit hutan lindung/ konservasi menjadi target mereka entah itu dikerjakan secara legal ataupun ilegal, jadi sudah hampir setengah dari luas hutan di pulau bangka sekarang menjadi daratan pasir, membuat kayu jenis Garu, Meranti, seruk dsb menjadi sangat langka,
Saat ini efek global warming pun sudah sangat terasa di pulau Bangka, walaupun awalnya memang sudah terkenal panas lohh.
Pantai pantai yang dulu terlihat eksotis kini terlihat sangat memprihatinkan banyak yang memang diurus tapi juga tidak sedikit rusak dikarenakan adanya kegiatan penambangan disekitar pantai contohnya Pantai Rebo,
kegiatan usaha ini juga banyak menyebabkan daerah aliran sungai (DAS) mengalami pendangkalan akibat dari sisa lumpur tanah yang dibuang ke sungai selanjutnya akan menjadi salah satu pemicu terjadinya banjir, dan tidak sedikit pula berakibat hilangnya anak sungai  karena telah dibendung dan ditutup sebagai salah satu upaya dalam kegiatan penambangan ini.
C.     Rusaknya Ekosistem di Laut, Tak ada Kayu Karet Kayu Meranti Pun Jadi, seperti itulah keadaan pelaku usaha pertambangan di Pulau Bangka, didarat sudah sulit menemukan lahan yang berpotensi memiliki kandungan timah akhirnya mereka berhijrah ke laut (ini hanya dilakukan oleh perusahaan bermodal besar/kira kira memiliki nilai investasi diatas 5 miliyar rupiah,  untuk masyarakat kecil cuma gigit jari hehe..), dulu eksploitasi tambang laut dilakukan oleh PT.Timah dan Perusahaan swasta di bawah kendali PT. Timah di tambang dengan Kapal Keruk dan Kapal Hisap yang relatif jumlahnya masih kecil dan masih tertata dengan batas-batas yang telah ditentukan, namun sekarang jika kita memandang kelaut lepas dari sekeliling pantai di pulau bangka akan membuat kita sakit mata dan sakit hati, sepanjang mata memandang yang kita lihat hanyalah sekumpulan besar kapal-kapal hisap dan kapal keruk, keberadaan kapal kapal ini semakin tidak jelas apakah resmi atau tidak, yang pasti masyarakat kecil di Pulau Bangka tidak ikut menikmati sekaligus menghancurkan isi laut dalam hal ini.
Jika kita sedang bepergian melalui jalur udara dilihat dari atas udara sebelum kita melihat kolong yang dihasilkan di daratan Bangka terlebih dahulu kita akan menemukan pemandangan yang jauh lebih miris di sekitar lautan pulau bangka, laut yang seyogyanya berwarna biru di Pulau Bangka ternyata berwarna kelabu. Bagi kalian yang hobinya mancing dulu lautan Bangka menjadi salah satu referensi untuk memancing, kini jangan harap cape dech....
Akibat dari aktivitas penambangan laut ini juga telah menghancurkan begitu banyak terumbu karang dan membunuh habitat disekitar, akibatnya ikan ikan kecil pergi menjauh dari lautan Bangka yang dipastikan ikan ikan besar pun tidak akan lagi mau mampir di peraira laut bangka. Dampak dari aktivitas pertambangan laut juga telah dirasakan langsung oleh para nelayan Bangka, karena pendapatan mereka otomatis menjadi sedikit dan lokasi penangkapan pun menjadi lebih jauh untuk mengejar ikan yang telah pergi menjauh (mincing ikan dah susah tapi kalo mo mancingin kapal hisap sih mudah tapi kailnya juga mesti gede) .

D.     Hilangnya sebagian sejarah Bangka, dulu pulau bangka juga terkenal sebagai tempat singgah atau perniagaan dari bangsa china dan melayu itu terbukti dari banyaknya penemuan ratusan kapal karam berisi barang dagangan seperti perhiasan, guci, mangkok, piring dan lain sbg yang diperkirakan berusia ratusan tahun, sekarang semenjak laut bangka di eksploitasi secara besar besaran  menemukan sisa kerangka kapal saja sudah sulit karena telah ikut menjadi korban keganasan kapal keruk dan kapal hisap.

E.      Dampak Psikologis untuk Anak Cucu masyarakat Bangka, Saat ini mungkin anak cucu kita tidak begitu mengerti akan apa yang sedang dialami oleh bumi tempat ia berpijak dan lahir, karena bagi masyarakat Bangka kedepannya akan sangat sulit untuk mengenalkan nama nama jenis pohon dan mahluk air di sekitar pantai kepada anak cucunya kelak dikarenakan pohon tersebut sudah tidak dapat lagi tumbuh di tanah yang berpasir. Dampak dari pertambangan timah darat juga mengakibatkan masyarakat harus membangun rumah dengan kayu tidak berkelas seperti kayu Cempedak, Kelapa, Karet dsb, yang secara kualitas sangat mudah rapuh dan tidak tahan lama, karena kayu kayu tersebut umumnya sudah habis dibabat oleh alat-alat berat (PC) agar dapat lebih cepat membongkar isi perut bumi
Sebuah Pulau seperti Bangka yang dikelilingi oleh lautan  sudah seharusnya memiliki potensi dalam usaha pnangkapan ikan/nelayan, tapi itu dulu kini jumlah nelayan berkurang karena faktor ikan yang sulit dicari, biaya operasional yang membengkak karena harus menempuh perjalanan yang lebih lama dari biasanya, juga pemikiran nelayan merubah status pekerjaannya dari nelayan menjadi penambang timah laut. semua itu mengakibatkan naiknya semua harga jenis ikan dipasaran pulau Bangka, harga ikan pun sudah tak sebanding (jauh lebih tinggi) dengan nilai inflasi di propinsi Kep. Babel.

  • ·         SEJARAH PERTAMBANGAN TIMAH
Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, dengan jumlah cadangan yang cukup besar. Cadangan timah ini, tersebar dalam bentangan wilayah sejauh lebih dari 800 kilometer, yang disebut The Indonesian Tin Belt. Bentangan ini merupakan bagian dari The Southeast Asia Tin Belt, membujur sejauh kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand, Semenanjung Malaysia hingga Indonesia. Di Indonesia sendiri, wilayah cadangan timah mencakup Pulau Karimun, Kundur, Singkep, dan sebagian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung, dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan. Penambangan di Bangka, misalnya, telah dimulai pada tahun 1711, di Singkep pada tahun 1812, dan di Belitung sejak 1852. Namun, aktivitas penambangan timah lebih banyak dilakukan di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT Timah, 2006). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Dari sejumlah pulau penghasil timah itu, Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Pulau Bangka yang luasnya mencapai 1.294.050 ha, seluas 27,56 persen daratan pulaunya merupakan area Kuasa Penambangan (KP) timah. Area penambangan terbesar di pulau ini dikuasai oleh PT Tambang Timah, yang merupakan anak perusahaan PT Timah Tbk. Mereka menguasai area KP seluas 321.577 ha. Sedangkan PT Kobatin, sebuah perusahaan kongsi yang sebanyak 25 persen sahamnya dikuasai PT Timah dan 75 persen lainnya milik Malaysia Smelting Corporation, menguasai area KP seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka, 2000). Selain itu terdapat sejumlah smelter swasta lain dan para penambang tradisional yang sering disebut tambang inkonvensional ( TI ) yang menambang tersebar di darat dan laut Babel. Permasalahan Penambangan timah yang telah berlangsung ratusan tahun itu belum mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Padahal, cadangan timah yang ada kian menipis pula.
  •    Perizinan Pertambangan di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, Kuasa Pertambangan (KP)
merupakan bentuk perizinan yang memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk
melakukan usaha pertambangan, sesuai substansi dari bahan galian golongan a, b atau c.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, perizinan pengusahaan pertambangan pada dasarnya diberikan oleh Pemerintah
dan dilaksanakan pengusahaannya oleh Instansi Pemerintah, kecuali untuk bahan galian
golongan c yang telah diserahkan kepada pemerintah Daerah ( berdasarkan PP Nomor 32
Tahun 1969 ). Namun setalah berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2001, pengelolaan pertambangan diserahkan
kepada Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan pemberian
otonomi daerah. Dengan demikian paradigma pengusahaan pertambangan dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 perlu disesuaikan. Namun sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hingga Desember 2008, penyesuaian terhadap
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tidak juga tercapai. Sehingga di dalam
implementasinya banyak terjadi permasalahan dalam pemberian perizinan pengusahaan
pertambangan. Baru pada akhir 2009 disahkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengatur sistem perizinan
pertambangan dengan bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP).